MAKALAH PROBLEMATIKA
PEMBELAJARAN SAINS
PEMBELAJARAN SAINS DI
SEKOLAH
Disusun
Oleh:
Erny Rohmatus Sa’adah (S831402029)
PRODI PENDIDIKAN SAINS/KIMIA
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS
MARET
SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Era
globalisasi yang terjadi sekarang ini telah mempengaruhi berbagai aspek dalam
kehidupan. Kehidupan masyarakat saat ini sangat bergantung dan dipengaruhi oleh
perkembangan sains dan teknologi. Akibat perkembangan itu, manusia dituntut
untuk selalu mengikuti semua perkembangan tersebut dengan berbagai macam
perubahannya. Seiring perkembangan jaman, persaingan antar individu juga
semakin berkembang. Persaingan dalam hal pendidikan, kerja, dan berkarya
menjadi hal yang sangat penting dan harus dipersiapkan dengan maksimal bagi
masing-masing individu. Mempersiapkan individu yang siap berkompetisi di dunia
global dengan segala tantangan yang ada dapat dibentuk dan dipersiapkan oleh
dunia pendidikan.
Untuk
mempersiapkan hal tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
selalu berupaya untuk menjawab tantangan dari era globalisasi yang sedang
berkembang pesat dari waktu ke waktu. Pemerintah beberapa kali telah melakukan
perubahan kurikulum pendidikan demi menjawab tuntutan tersebut. Mulai dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, lalu diganti dan diperbaharui
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, dan yang masih
hangat dan menjadi pro kontra di kalangan akademisi pendidikan adalah Kurikulum
2013. Kurikulum 2013 pemerintah memberikan perhatian yang khusus pada
pembelajaran sains di seluruh tingkat satuan pendidikan mulai SD, SMP, dan SMA.
Menurut dokumen kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan,
hasil studi PISA (Program for
International Student Assessment) menyebutkan bahwa negara Indonesia
menduduki peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara dalam melek sains (Science literacy). Bukan hanya itu,
hasil studi dari TIMSS (Trends in International
Mathematics and Science Study) menempatkan Indonesia pada rangking yang
amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang kompleks, (2) teori,
analisis, dan pemecahan masalah, (3) penggunaan alat, prosedur dan pemecahan
masalah, (4) melakukan investigasi.
Pembelajaran
sains yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah hanya menekankan pada
pemberian konten materi (produk) dari sains itu sendiri, sehingga kemampuan
yang dimiliki oleh peserta didik hanya sebatas pada aspek kogitifnya saja. Secara
hakikat, sains itu meliputi produk (kognitif), proses (psikomotor), dan pembentukan
sikap ilmiah (afektif). Dalam pembelajaran sains, ketiga aspek tersebut harus
terpenuhi agar peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan
melek sains.
B.
Rumusan
masalah
1. Apa itu
pembelajaran sains?
2. Apa
tujuan dari pembelajaran sains?
3. Apa
konten/materi ajar dalam pembelajaran sains?
4. Bagaimana
model pembelajaran dalam pembelajaran sains?
5. Bagaimana
instrumen evaluasi dalam pembelajaran sains?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan
Pembelajaran Sains
Sains
merupakan salah satu bagian dari kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia
itu bagian dari pembelajaran sains. Sains dan kehidupan manusia sangat
berkaitan erat dan hampir tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Sains
dikembangkan untuk memahami gejala alam, baik berupa fakta-fakta atau
kejadian-kejadian dan hubungan sebab-akibatnya secara sistematis sehingga dalam
proses menemukan jawaban atas keingintahuan tersebut perlu dilakukan suatu
proses ilmiah.
Menurut
Piaget dalam buku Teori-teori Belajar & Pembelajaran (Dahar, 2011) belajar
sains merupakan suatu proses membangun pengetahuan dengan partisipasi aktif
dari siswa. Piaget juga berpendapat dalam teori belajar konstruktivis bahwa individu
dapat membangun sendiri pengetahuannya sejak kecil dari hasil pengalamannya
sendiri dengan lingkungan (Suyanti, 2010). Konstruktivisme didasari oleh teori
belajar kognitif (Sanjaya, 2010) yang beranggapan bahwa pengetahuan
dikonstruksi melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema (struktur
kognitif yang terbentuk dari proses pengalaman) yang sudah ada. Sedangkan
asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang sudah terbentuk, akomodasi adalah proses perubahan
skema tersebut.
Selama
ini di beberapa sekolah masih banyak yang menerapkan pembelajaran yang berpusat
pada guru (teacher centered),
sehingga partisipasi aktif dari siswa untuk dapat membangun pengetahuannya
sendiri masih kurang terlebih untuk pengetahuan sains. Dalam buku karangan
Retno Dwi Suyanti (2010) Edgar Dale menggambarkan dalam kerucut pengalaman (cone of experience) bahwa semakin
konkret siswa mempelajari konten materi ajar, maka semakin banyak pengalaman
yang diperoleh siswa dan akan semakin kuat ingatan tentang materi yang
dipelajari. Hakikat sains meliputi produk, proses, dan sikap ilmiah, maka dalam
proses pembelajaran sains di sekolah siswa harus dilibatkan secara aktif dalam
proses pembelajaran sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator, mediator,
pengelola, demonstrator, pembimbing, evaluator, dan sumber belajar (Sanjaya,
2010). Untuk mendukung keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, pemerintah
melalui Kementrian Pendidikan melakukan perubahan kurikulum dari KTSP menjadi
Kurikulum 2013 yang memberikan perhatian khusus pada ilmu sains. Pemerintah
berharap dengan perubahan kurikulum 2013 ini, siswa dapat lebih melek sains
bukan hanya terbatas pada konten atau produk hasil sains sehingga hanya
pengetahuan yang bersifat kognitif yang dikuasai dan dipahami, tetapi lebih
pada proses sains atau keterampilan proses untuk mendapatkan dan mengembangkan
sains lebih lanjut (psikomotor) serta sikap ilmiah atau mental ilmiah ketika
terjun dan berkecimpung dalam dunia sains (afektif). Menurut Rustaman (2005)
tujuan jangka panjang dari pendidikan sains adalah siswa diharapkan memiliki
kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, kreatif, tekun, disiplin,
mengikuti aturan, dapat bekerja sama, bersikap terbuka, percaya diri, memiliki
keterampilan kerja, keterampilan komunikasi dan keterampilan sosial lainnya
untuk membekali siswa dalam menghadapi tantangan dalam masyarakat yang semakin
kompetitif antara satu dengan yang lain di segala bidang.
Menurut
UNESCO ada empat pilar pendidikan dalam pembelajaran sains di sekolah yaitu learning how to know, learning how to do, learning to be, dan learning
to live together. Dalam kurikulum 2013 ini, konsep empat pilar dari UNESCO
diaplikasikan oleh pemerintah dengan memberikan beberapa model pembelajarn yang
dapat diterapkan pada proses pembelajaran sains seperti PBL (Project Based Learning), Inquiry, Discovery dan SETS (Science,
Environment, Technology dan Society). Tujuannya agar siswa tidak hanya
mengerti dan paham tentang konten materi dari sains tetapi lebih pada
keterampilan proses sains menggunakan metode ilmiah (scientific methode), kemampuan berpikir, dan keterampilan
memecahkan masalah secara efektif serta dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan selanjutnya di masyarakat.
B.
Konten/
Materi Ajar
Sains
atau IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) mempelajari segala sesuatu yang ada di alam sekitar
kita (lingkungan) berupa fakta-fakta atau kejadian-kejadian dan hubungan
sebab-akibatnya secara sistematis serta proses penemuan. Anggota rumpun sains
atau IPA di antaranya adalah fisika, kimia, biologi, dan astronomi/astrofisika.
Konten materi ajar sains meliputi produk-produk sains berupa fakta-fakta,
konsep, prinsip, teori dan hukum yang sudah diterima keberadaannya (Diknas,
2008). Pada ilmu kimia mempelajari gejala khusus yang terjadi pada suatu zat
dan segala yang berhubungan dengan zat seperti komposisi, struktur dan sifat,
transformasi, dinamika, dan energetika zat.
C.
Model
Pembelajaran
Model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur secara
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Model pembelajaran mencangkup pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sains di sekolah, pemilihan
pendekatan, strategi, metode, teknik, serta model pembelajaran sangat penting.
Hal ini dikarenakan tidak semua jenis komponen tersebut sesuai jika diterapkan
pada pembelajaran sains. Dengan pemilihan pendekatan, strategi, metode, teknik,
serta model pembelajaran yang tepat, diharapkan tujuan dari pembelajaran sains dapat
tercapainya.
Pada
pembelajaran sains yang memiliki konten materi ajar berupa fakta-fakta, konsep,
prinsip, teori, dan hukum sehingga siswa diharapkan tidak hanya memiliki
kemampuan secara kognitif dengan menghafal dan memahami semua konten materi
dengan baik tetapi juga pada ranah afektif dan psikomotor. Pendekatan yang
dapat diterapkan pada pembelajaran sains di antaranya adalah student centered, keterampilan proses,
induktif, kontekstual, SETS (Science, Environment,
Technology, and Society), dan konstruktivisme. Metode yang digunakan di
antaranya ceramah, demonstrasi, eksperimen, diskusi, proyek, discovery, dan inquiry. Sedangkan model pembelajaran yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran sains adalah CTL (Contextual
Teaching and Learning), SETS (Science,
Environment, Technology, and Society), GI (Group Investigation), PBL (Project
Based Learning), dan Quantum Learning.
Semua pendekatan, metode, dan model di atas memberikan kesempatan pada siswa
agar dapat berperan aktif selama proses
pembelajaran. Berikut dijelaskan beberapa model pembelajaran:
1. PBL (Project Based Learning)
PBL
merupakan salah satu model pembelajaran inovatif. Dalam e-Journal PPs
Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA volume 4 tahun 2014, Amanda
dkk. mengutip tulisan The George Lucas Educational Foundation tentang enam
tahapan dalam pembelajaran berbasis proyek : (1) start with the essential question, (2) design a plan for the project, (3) create a schedule, (4) monitor
the students and the progress of the project, (5) asses the outcome, (6) evaluate
the experiences. Menurut Thomas dkk. yang dikutip oleh Amanda dkk. (2014) pada
model pembelajaran ini, siswa dituntut untuk marancang, memecahkan masalah,
membuat keputusan, melakukan kegiatan investigasi, dan bekerja secara mandiri
bersama kelompok.
2. Inquiry dan Discovery
Model
inquiry merupakan model pembelajaran kognitif yang sering diunggulkan dalam
pembelajaran sains di sekolah. Menurut Rostiyah (2008) inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya
seperti merumuskan masalah, merencanakan percobaan, melakukan percobaan,
mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan.
Sedangkan
discovery dari segi etimologinya
berarti penemuan. Menurut Sund dalam buku karya Rosetiyah (2008) discovery berarti proses mental di mana
siswa dapat mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud proses
mental adalah mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat
dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Dalam discovery guru hanya sebagai pembimbing
dan pemberi instruksi, sementara siswa diberikan kesempatan untuk menemukan
sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri.
Menurut
Trowbridge & Byee yang dikutip oleh Rustaman (2005) tingkat kompleksitas
pembelajaran inquiry dibedakan
menjadi tiga. Pertama adalah pembelajaran penemuan (discovery) yaitu melakukan pencarian konsep melalui kegiatan yang
melibatkan pertanyaan, inferensi, prediksi, berkomunikasi, interpretasi, dan
menyimpulkan, kedua pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) yaitu permasalahan dimunculkan oleh pembimbing, dan
ketiga tingkatan paling kompleks adalah inkuiri terbuka atau bebas (open inquiry) yaitu masalah berasal dari
siswa sendiri dengan bantuan arahan dari guru. Ketiga pembelajaran tersebut
melibatkan keterampilan proses sains atau kemampuan bekerja ilmiah. Sehingga
dapat dikatan pula bahwa inquiry
merupakan perluasan dari discovery.
Langkah-langkah
dalam pelaksanaan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut (Sanjaya, 2010):
a. Orientasi
b. Merumuskan
masalah
c. Mengajukan
hipotesis
d. Mengumpulkan
data
e. Menguji
hipotesis
f. Merumuskan
kesimpulan
3. CTL (Contextual Teaching and Learning)
CTL
adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan
siswa secara penuh sehingga dapat menemukan materi sendiri melalui pengalaman
secara langsung, menghubungkan materi yang didapat di sekolah dengan kehidupan
nyata sehingga dapat mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka
(Sanjaya, 2010).
Lebih
lanjut Sanjaya (2010) menyebutkan ada 7 asas atau komponen yang melandasi
pelaksanaan proses pembelajaran menggunakan CTL yaitu:
a. Konstruktivisme
b. Inkuiri
c. Bertanya
(questioning)
d. Masyarakat
belajar (learning community)
e. Pemodelan
(modeling)
f. Refleksi
(reflection)
g. Penilaian
nyata (authentic assessment)
D.
Instrumen
Evaluasi
Menurut Kemendiknas (2012) instrumen penilaian hasil belajar adalah
alat yang digunakan untuk mengetahui kekurangan setiap peserta didik atau
sekelompok peserta didik dalam hasil belajar. Instrumen evaluasi/penilaian
hasil belajar dapat berbentuk soal, non-soal, dan tugas. Pada proses
pembelajaran sains penilaian terhadap hasil belajar terdiri dari tiga aspek
yaitu kognitif (proses kognitif: remember,
understand, apply, analize, evaluate, create; pengetahuan: factual knowledge, conceptual knowledge,
procedural knowledge, metacognitive knowledge), afektif (minat, sikap,
nilai, penghargaan, penyesuaian diri), dan psikomotor (gerak otot, keterampilan
motorik, gerak yang membutuhkan koordinasi otot). Menurut Sukardjo dan Lis
Permana Sari (2008) instrumen penilaian hasil belajar aspek kognitif dan
psikomotor dapat berbentuk soal, sedangkan pada aspek afektif menggunakan
instrumen non-soal. Pada umumnya, aspek psikomotor juga menggunakan instrumen
non-soal. Instrumen soal selalu memiliki jawaban yang benar dan salah. Pada
instrumen non-soal jawaban merupakan suatu skala. Baik soal maupun non-soal
terdiri dari beberapa butir soal bisa berupa pertanyaan atau pernyataan.
Lebih lanjut Sukardjo dan Lis Permana Sari (2008) menjelaskan bahwa
instrumen penilaian soal dapat berbentuk uraian atau objektif. Instrumen
penilaian non-soal berbentuk pedoman observasi, daftar cek, skala lajuan,
pedoman wawancara, lembar angket, dan skala sikap. Instrumen soal uraian
memiliki dua tipe yaitu uraian terbatas (jawaban singkat, melengkapi, uraian
terbatas sederhana) dan uraian bebas (uraian bebas sederhana, uraian
ekspresif). Instrumen soal objektif memiliki tiga tipe yaitu objektif benar-salah
(benar-salah sederhana, benar-salah dengan koreksi), objektif menjodohkan
(menjodohkan sederhana, menjodohkan hubungan sebab-akibat), dan objektif
pilihan ganda (pilihan ganda biasa, hubungan antar hal, analisis kasus, pilihan
ganda kompleks, membaca diagram).
BAB III
PENUTUP
1. Pembelajaran
Sains atau IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) adalah proses mempelajari segala sesuatu
yang ada di alam sekitar kita (lingkungan) berupa fakta-fakta atau
kejadian-kejadian dan hubungan sebab-akibatnya secara sistematis.
2. Tujuan
pembelajaran sains di sekolah adalah agar siswa mengerti dan paham tentang
konten materi dari sains berupa fakta, konsep, prinsip, teori, dan hukum. Serta
memiliki keterampilan proses sains menggunakan metode ilmiah (scientific methode), kemampuan berpikir,
dan keterampilan memecahkan masalah secara efektif serta dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan selanjutnya di masyarakat.
3. Konten
materi ajar sains meliputi produk-produk sains berupa fakta-fakta, konsep,
prinsip, teori dan hukum yang sudah diterima keberadaannya.
4. Model
pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran sains menitik beratkan
pada partisipasi aktif siswa agar siswa dapat memeroleh pengetahuan berdasarkan
pengalamannya sendiri. Di antaranya adalah model PBL (Project Based Learning), Inquiry
dan Discovery, CTL (Contextual Teaching and Learning), SETS
(Science, Environment, Technology, and
Society) dan lain-lain.
5. Instrumen
evaluasi/penilaian hasil belajar pada pembelajaran sains dapat berbentuk soal, non-soal, dan tugas.
Instrumen penilaian hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor dapat berbentuk
soal, sedangkan pada aspek afektif menggunakan instrumen non-soal. Pada
umumnya, aspek psikomotor juga menggunakan instrumen non-soal.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda,
dkk. 2014). Pengaruh Model Pembelajaran
Berbasis Proyek Terhadap Hasil
Belajar IPA Ditinjau dari Self Efficacy Siswa. e-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA volume 4 tahun
2014.
Dahar,
Ratna Wilis. (2011). Teori-Teori Belajar
& Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Direktorat
Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Strategi Pembelajaran MIPA.
Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan. (2012). Dokumen
Kurikulum 2013.
Roestiyah.
(2008). Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Rustaman,
Nuryani Y. (2005). Perkembangan
Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidikan Sains. Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Nasional II Himpunan Ikatan sarjana dan Pemerhati
Pendidikan IPA Indonesia Bekerjasama dengan FMIPA Universitas Pendidikan
Indonesia tanggal 22-23 Juli 2005.
Sanjaya,
Wina. (2010). Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Sukardjo
& Lis Permana Sari. (2008). Penilaian
Hasil Balajar Kimia. Yogyakarta: UNY press.
Suyanti,
Retno Dwi. (2010). Strategi Pembelajaran
Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.