Minggu, 23 Maret 2014

Problematika Pembelajaran Sains di Sekolah




MAKALAH PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN SAINS
PEMBELAJARAN SAINS DI SEKOLAH







Disusun Oleh:
Erny Rohmatus Sa’adah                (S831402029)


PRODI PENDIDIKAN SAINS/KIMIA
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Era globalisasi yang terjadi sekarang ini telah mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan. Kehidupan masyarakat saat ini sangat bergantung dan dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi. Akibat perkembangan itu, manusia dituntut untuk selalu mengikuti semua perkembangan tersebut dengan berbagai macam perubahannya. Seiring perkembangan jaman, persaingan antar individu juga semakin berkembang. Persaingan dalam hal pendidikan, kerja, dan berkarya menjadi hal yang sangat penting dan harus dipersiapkan dengan maksimal bagi masing-masing individu. Mempersiapkan individu yang siap berkompetisi di dunia global dengan segala tantangan yang ada dapat dibentuk dan dipersiapkan oleh dunia pendidikan.
Untuk mempersiapkan hal tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan selalu berupaya untuk menjawab tantangan dari era globalisasi yang sedang berkembang pesat dari waktu ke waktu. Pemerintah beberapa kali telah melakukan perubahan kurikulum pendidikan demi menjawab tuntutan tersebut. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, lalu diganti dan diperbaharui dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, dan yang masih hangat dan menjadi pro kontra di kalangan akademisi pendidikan adalah Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 pemerintah memberikan perhatian yang khusus pada pembelajaran sains di seluruh tingkat satuan pendidikan mulai SD, SMP, dan SMA. Menurut dokumen kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan, hasil studi PISA (Program for International Student Assessment) menyebutkan bahwa negara Indonesia menduduki peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara dalam melek sains (Science literacy). Bukan hanya itu, hasil studi dari TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menempatkan Indonesia pada rangking yang amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang kompleks, (2) teori, analisis, dan pemecahan masalah, (3) penggunaan alat, prosedur dan pemecahan masalah, (4) melakukan investigasi.
Pembelajaran sains yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah hanya menekankan pada pemberian konten materi (produk) dari sains itu sendiri, sehingga kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik hanya sebatas pada aspek kogitifnya saja. Secara hakikat, sains itu meliputi produk (kognitif), proses (psikomotor), dan pembentukan sikap ilmiah (afektif). Dalam pembelajaran sains, ketiga aspek tersebut harus terpenuhi agar peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan melek sains.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa itu pembelajaran sains?
2.      Apa tujuan dari pembelajaran sains?
3.      Apa konten/materi ajar dalam pembelajaran sains?
4.      Bagaimana model pembelajaran dalam pembelajaran sains?
5.      Bagaimana instrumen evaluasi dalam pembelajaran sains?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tujuan Pembelajaran Sains
Sains merupakan salah satu bagian dari kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu bagian dari pembelajaran sains. Sains dan kehidupan manusia sangat berkaitan erat dan hampir tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Sains dikembangkan untuk memahami gejala alam, baik berupa fakta-fakta atau kejadian-kejadian dan hubungan sebab-akibatnya secara sistematis sehingga dalam proses menemukan jawaban atas keingintahuan tersebut perlu dilakukan suatu proses ilmiah.
Menurut Piaget dalam buku Teori-teori Belajar & Pembelajaran (Dahar, 2011) belajar sains merupakan suatu proses membangun pengetahuan dengan partisipasi aktif dari siswa. Piaget juga berpendapat dalam teori belajar konstruktivis bahwa individu dapat membangun sendiri pengetahuannya sejak kecil dari hasil pengalamannya sendiri dengan lingkungan (Suyanti, 2010). Konstruktivisme didasari oleh teori belajar kognitif (Sanjaya, 2010) yang beranggapan bahwa pengetahuan dikonstruksi melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema (struktur kognitif yang terbentuk dari proses pengalaman) yang sudah ada. Sedangkan asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang sudah  terbentuk, akomodasi adalah proses perubahan skema tersebut.
Selama ini di beberapa sekolah masih banyak yang menerapkan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered), sehingga partisipasi aktif dari siswa untuk dapat membangun pengetahuannya sendiri masih kurang terlebih untuk pengetahuan sains. Dalam buku karangan Retno Dwi Suyanti (2010) Edgar Dale menggambarkan dalam kerucut pengalaman (cone of experience) bahwa semakin konkret siswa mempelajari konten materi ajar, maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh siswa dan akan semakin kuat ingatan tentang materi yang dipelajari. Hakikat sains meliputi produk, proses, dan sikap ilmiah, maka dalam proses pembelajaran sains di sekolah siswa harus dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator, mediator, pengelola, demonstrator, pembimbing, evaluator, dan sumber belajar (Sanjaya, 2010). Untuk mendukung keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan melakukan perubahan kurikulum dari KTSP menjadi Kurikulum 2013 yang memberikan perhatian khusus pada ilmu sains. Pemerintah berharap dengan perubahan kurikulum 2013 ini, siswa dapat lebih melek sains bukan hanya terbatas pada konten atau produk hasil sains sehingga hanya pengetahuan yang bersifat kognitif yang dikuasai dan dipahami, tetapi lebih pada proses sains atau keterampilan proses untuk mendapatkan dan mengembangkan sains lebih lanjut (psikomotor) serta sikap ilmiah atau mental ilmiah ketika terjun dan berkecimpung dalam dunia sains (afektif). Menurut Rustaman (2005) tujuan jangka panjang dari pendidikan sains adalah siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, kreatif, tekun, disiplin, mengikuti aturan, dapat bekerja sama, bersikap terbuka, percaya diri, memiliki keterampilan kerja, keterampilan komunikasi dan keterampilan sosial lainnya untuk membekali siswa dalam menghadapi tantangan dalam masyarakat yang semakin kompetitif antara satu dengan yang lain di segala bidang.
Menurut UNESCO ada empat pilar pendidikan dalam pembelajaran sains di sekolah yaitu learning how to know, learning how to do, learning to be, dan learning to live together. Dalam kurikulum 2013 ini, konsep empat pilar dari UNESCO diaplikasikan oleh pemerintah dengan memberikan beberapa model pembelajarn yang dapat diterapkan pada proses pembelajaran sains seperti PBL (Project Based Learning), Inquiry, Discovery dan SETS (Science, Environment, Technology dan Society). Tujuannya agar siswa tidak hanya mengerti dan paham tentang konten materi dari sains tetapi lebih pada keterampilan proses sains menggunakan metode ilmiah (scientific methode), kemampuan berpikir, dan keterampilan memecahkan masalah secara efektif serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan selanjutnya di masyarakat.
B.     Konten/ Materi Ajar
Sains atau IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) mempelajari segala sesuatu yang ada di alam sekitar kita (lingkungan) berupa fakta-fakta atau kejadian-kejadian dan hubungan sebab-akibatnya secara sistematis serta proses penemuan. Anggota rumpun sains atau IPA di antaranya adalah fisika, kimia, biologi, dan astronomi/astrofisika. Konten materi ajar sains meliputi produk-produk sains berupa fakta-fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum yang sudah diterima keberadaannya (Diknas, 2008). Pada ilmu kimia mempelajari gejala khusus yang terjadi pada suatu zat dan segala yang berhubungan dengan zat seperti komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika, dan energetika zat.


C.    Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran mencangkup pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sains di sekolah, pemilihan pendekatan, strategi, metode, teknik, serta model pembelajaran sangat penting. Hal ini dikarenakan tidak semua jenis komponen tersebut sesuai jika diterapkan pada pembelajaran sains. Dengan pemilihan pendekatan, strategi, metode, teknik, serta model pembelajaran yang tepat, diharapkan tujuan dari pembelajaran sains dapat tercapainya.
Pada pembelajaran sains yang memiliki konten materi ajar berupa fakta-fakta, konsep, prinsip, teori, dan hukum sehingga siswa diharapkan tidak hanya memiliki kemampuan secara kognitif dengan menghafal dan memahami semua konten materi dengan baik tetapi juga pada ranah afektif dan psikomotor. Pendekatan yang dapat diterapkan pada pembelajaran sains di antaranya adalah student centered, keterampilan proses, induktif, kontekstual, SETS (Science, Environment, Technology, and Society), dan konstruktivisme. Metode yang digunakan di antaranya ceramah, demonstrasi, eksperimen, diskusi, proyek, discovery, dan inquiry. Sedangkan model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran sains adalah CTL (Contextual Teaching and Learning), SETS (Science, Environment, Technology, and Society), GI (Group Investigation), PBL (Project Based Learning), dan Quantum Learning. Semua pendekatan, metode, dan model di atas memberikan kesempatan pada siswa agar dapat  berperan aktif selama proses pembelajaran. Berikut dijelaskan beberapa model pembelajaran:
1.      PBL (Project Based Learning)
PBL merupakan salah satu model pembelajaran inovatif. Dalam e-Journal PPs Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA volume 4 tahun 2014, Amanda dkk. mengutip tulisan The George Lucas Educational Foundation tentang enam tahapan dalam pembelajaran berbasis proyek : (1) start with the essential question, (2) design a plan for the project, (3) create a schedule, (4) monitor the students and the progress of the project, (5) asses the outcome, (6) evaluate the experiences. Menurut Thomas dkk. yang dikutip oleh Amanda dkk. (2014) pada model pembelajaran ini, siswa dituntut untuk marancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan kegiatan investigasi, dan bekerja secara mandiri bersama kelompok.
2.      Inquiry dan Discovery
Model inquiry merupakan model pembelajaran kognitif yang sering diunggulkan dalam pembelajaran sains di sekolah. Menurut Rostiyah (2008) inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya seperti merumuskan masalah, merencanakan percobaan, melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan.
Sedangkan discovery dari segi etimologinya berarti penemuan. Menurut Sund dalam buku karya Rosetiyah (2008) discovery berarti proses mental di mana siswa dapat mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud proses mental adalah mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Dalam discovery guru hanya sebagai pembimbing dan pemberi instruksi, sementara siswa diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri.
Menurut Trowbridge & Byee yang dikutip oleh Rustaman (2005) tingkat kompleksitas pembelajaran inquiry dibedakan menjadi tiga. Pertama adalah pembelajaran penemuan (discovery) yaitu melakukan pencarian konsep melalui kegiatan yang melibatkan pertanyaan, inferensi, prediksi, berkomunikasi, interpretasi, dan menyimpulkan, kedua pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) yaitu permasalahan dimunculkan oleh pembimbing, dan ketiga tingkatan paling kompleks adalah inkuiri terbuka atau bebas (open inquiry) yaitu masalah berasal dari siswa sendiri dengan bantuan arahan dari guru. Ketiga pembelajaran tersebut melibatkan keterampilan proses sains atau kemampuan bekerja ilmiah. Sehingga dapat dikatan pula bahwa inquiry merupakan perluasan dari discovery.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut (Sanjaya, 2010):
a.       Orientasi
b.      Merumuskan masalah
c.       Mengajukan hipotesis
d.      Mengumpulkan data
e.       Menguji hipotesis
f.       Merumuskan kesimpulan
3.      CTL (Contextual Teaching and Learning)
CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh sehingga dapat menemukan materi sendiri melalui pengalaman secara langsung, menghubungkan materi yang didapat di sekolah dengan kehidupan nyata sehingga dapat mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2010).
Lebih lanjut Sanjaya (2010) menyebutkan ada 7 asas atau komponen yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran menggunakan CTL yaitu:
a.       Konstruktivisme
b.      Inkuiri
c.       Bertanya (questioning)
d.      Masyarakat belajar (learning community)
e.       Pemodelan (modeling)
f.       Refleksi (reflection)
g.      Penilaian nyata (authentic assessment)
D.    Instrumen Evaluasi
Menurut Kemendiknas (2012) instrumen penilaian hasil belajar adalah alat yang digunakan untuk mengetahui kekurangan setiap peserta didik atau sekelompok peserta didik dalam hasil belajar. Instrumen evaluasi/penilaian hasil belajar dapat berbentuk soal, non-soal, dan tugas. Pada proses pembelajaran sains penilaian terhadap hasil belajar terdiri dari tiga aspek yaitu kognitif (proses kognitif: remember, understand, apply, analize, evaluate, create; pengetahuan: factual knowledge, conceptual knowledge, procedural knowledge, metacognitive knowledge), afektif (minat, sikap, nilai, penghargaan, penyesuaian diri), dan psikomotor (gerak otot, keterampilan motorik, gerak yang membutuhkan koordinasi otot). Menurut Sukardjo dan Lis Permana Sari (2008) instrumen penilaian hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor dapat berbentuk soal, sedangkan pada aspek afektif menggunakan instrumen non-soal. Pada umumnya, aspek psikomotor juga menggunakan instrumen non-soal. Instrumen soal selalu memiliki jawaban yang benar dan salah. Pada instrumen non-soal jawaban merupakan suatu skala. Baik soal maupun non-soal terdiri dari beberapa butir soal bisa berupa pertanyaan atau pernyataan.
Lebih lanjut Sukardjo dan Lis Permana Sari (2008) menjelaskan bahwa instrumen penilaian soal dapat berbentuk uraian atau objektif. Instrumen penilaian non-soal berbentuk pedoman observasi, daftar cek, skala lajuan, pedoman wawancara, lembar angket, dan skala sikap. Instrumen soal uraian memiliki dua tipe yaitu uraian terbatas (jawaban singkat, melengkapi, uraian terbatas sederhana) dan uraian bebas (uraian bebas sederhana, uraian ekspresif). Instrumen soal objektif memiliki tiga tipe yaitu objektif benar-salah (benar-salah sederhana, benar-salah dengan koreksi), objektif menjodohkan (menjodohkan sederhana, menjodohkan hubungan sebab-akibat), dan objektif pilihan ganda (pilihan ganda biasa, hubungan antar hal, analisis kasus, pilihan ganda kompleks, membaca diagram).





BAB III
PENUTUP
1.      Pembelajaran Sains atau IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) adalah proses mempelajari segala sesuatu yang ada di alam sekitar kita (lingkungan) berupa fakta-fakta atau kejadian-kejadian dan hubungan sebab-akibatnya secara sistematis.
2.      Tujuan pembelajaran sains di sekolah adalah agar siswa mengerti dan paham tentang konten materi dari sains berupa fakta, konsep, prinsip, teori, dan hukum. Serta memiliki keterampilan proses sains menggunakan metode ilmiah (scientific methode), kemampuan berpikir, dan keterampilan memecahkan masalah secara efektif serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan selanjutnya di masyarakat.
3.      Konten materi ajar sains meliputi produk-produk sains berupa fakta-fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum yang sudah diterima keberadaannya.
4.      Model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran sains menitik beratkan pada partisipasi aktif siswa agar siswa dapat memeroleh pengetahuan berdasarkan pengalamannya sendiri. Di antaranya adalah model PBL (Project Based Learning), Inquiry dan Discovery, CTL (Contextual Teaching and Learning), SETS (Science, Environment, Technology, and Society) dan lain-lain.
5.      Instrumen evaluasi/penilaian hasil belajar pada pembelajaran sains  dapat berbentuk soal, non-soal, dan tugas. Instrumen penilaian hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor dapat berbentuk soal, sedangkan pada aspek afektif menggunakan instrumen non-soal. Pada umumnya, aspek psikomotor juga menggunakan instrumen non-soal.





DAFTAR PUSTAKA
Amanda, dkk. 2014). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap Hasil           Belajar IPA Ditinjau dari Self Efficacy Siswa. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA volume 4 tahun 2014.

Dahar, Ratna Wilis. (2011). Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Strategi Pembelajaran MIPA.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012). Dokumen Kurikulum 2013.

Roestiyah. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Rustaman, Nuryani Y. (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidikan Sains. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional II Himpunan Ikatan sarjana dan Pemerhati Pendidikan IPA Indonesia Bekerjasama dengan FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 22-23 Juli 2005.

Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Sukardjo & Lis Permana Sari. (2008). Penilaian Hasil Balajar Kimia. Yogyakarta: UNY press.

Suyanti, Retno Dwi. (2010). Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.