Jumat, 12 Desember 2014

Teori-teori kebenaran


A.    Pendahuluan
Manusia selalu berusaha untuk menemukan kebenaran. Beberapa cara yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh kebenaran diantara adalah dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut. Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran.
Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas. Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) . Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239).
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Kebenaran
Telah dijelaskan bahwa manusia tidak hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin tahu suatu kebenaran. Ia ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya.
Kalau saya mengatakan bahwa di luar sedang hujan, proposisi itu benar jika apa yang saya katakan memang sesuai dengan fakta. Jadi, ketika saya mengucapkan kalimat itu, hujan sedang turun. Kalau hujan tidak turun, apalagi sedang panas terik, maka proposisi itu tidak benar.
Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
2.      Macam-macam Kebenaran
Ada tiga jenis kebenaran yaitu kebenaran epistimologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantik. Kebenaran epistimologis berkaitan dengan pengetahuan, kebenaran ontologis berkaitan dengan hakikat sesuatu, dan kebenaran semantik berkaitan dengan tutur kata atau bahasa. Di bawah ini diuraikan secara singkat setiap jenis kebenaran.
a.       Kebenaran Epistimologis
Yang menjadi persoalan di sini adalah apa artinya pengetahuan yang benar? Atau, kapan sebuah pengetahuan disebut pengetahuan yang benar? Jawabannya adalah bila apa yang terdapat dalam pikiran subyek sesuai dengan apa yang ada dalam obyek.
Kebenaran epistimologis disebut juga dengan kebenaran logis.
b.      Kebenaran Ontologis
Kebenaran ontologis berkaitan dengan sifat dasar atau kodrat dari obyek. Misalnya, kita mengatakan batu adalah benda padat yang keras. Ini adalah sebuah kebenaran ontologis, sebab batu pada hakikatnya merupakan benda padat yang sangat keras. Manusia yang benar adalah manusia yang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Kebenaran ontologis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
·         Kebenaran ontologis esensial : menyangkut sifat dasar atau kodrat sesuatu
·         Kebenaran ontologis naturalis : menyangkut kodrat seperti yang diciptakan Tuhan
·         Kebenaran ontologis artifisial : menyangkut kodrat yang diciptakan oleh manusia
c.       Kebenaran Semantik
Kebenaran semantik berhubungan dengan pemakaian bahasa. Hal ini tergantung pada kebebasan manusia sebagai makhluk yang bebas melakukan sesuatu. Bahasa merupakan ungkapan dari kebenaran.
3.      Teori-teori Kebenaran
Ada tiga teori utama tentang kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Berikut ini akan diuraikan ketiga teori tersebut. Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) memandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernya-taan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Contoh: “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta”. Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies).
Ketiga macam teori kebenaran yang akan dibahas berikut ini adalah berbagai cara manusia memperoleh kebenaran yang sifatnya relatif atau nisbi. Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan merupakan sumber kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna kebaikan umat manusia.
a.      Teori Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.
Dua kesukaran utama yang didapatkan dari teori korespondensi adalah: Pertama, teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing. Kedua, teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan. Ketiga, Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
b.      Teori Koherensi
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika. Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran. Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.” “Sukarno adalah ayahanda Megawati. Sukarno mempunyai puteri. Megawati adalah puteri Sukarno”.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori korespondensi. Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun diatas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma). Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah: (1) Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya. (2) sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
c.       Teori Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies). Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia” . Dalam pendidikan, misalnya di UIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing Fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our ptactice. We can act as if there were a God”. Dalam hal ini, menurut penganut pragmatis, kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik; yang menjadi justifikasi dari segala tindakan kita; dan yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran.
Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
C.    Penutup
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
Berdasarkan teori korespondensi, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
D.    Daftar Pustaka
Munir, Misnal, M.Hum&Mustansyir, Rizal, M.Hum. 2001. Filsafat Ilmu 2.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muslih, Mohammad. 2004. Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukan

Pencemaran Lingkungan oleh Limbah Pabrik Gula Pagotan


Nama  : Erny Rohmatus Sa’adah
NIM    : S831402029
Prodi   : Pendidikan Sains/Kimia

Tugas Filsafat Pendidikan Sains
PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH LIMBAH PABRIK GULA PAGOTAN
1.      Pencemaran Lingkungan oleh Limbah Prabrik Gula Pagotan
Pabrik gula pagotan sudah berdiri dan beroperasi sejak puluhan tahun silam. Tetapi ada satu masalah yang sampai sekarang belum dapat ditanggulangi oleh pihak pabrik maupun pemerintah, yaitu pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan ini dapat berupa padatan, cairan, maupun gas hasil dari pengolahan tebu menjadi gula. Jika dilihat sekilas, dari pihak pabrik sudah memiliki tempat pengolahanan limbah yang  berada di sekitar pabrik. Tetapi yang terjadi beberapa tahun terakhir ini adalah, sungai yang mengalir di sepanjang jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Madiun-Ponorogo menjadi kotor dan tercemar. Dikatan tercemar karena dari warna air yang biasanya coklat keruh (ketika musim hujan) atau bening, terlihat berwarna hijau agak biru kehitam-hitaman. Bukan hanya itu saja, setiap melewati daerah pabrik sekitar 1 Km pasti tercium aroma yang kurang sedap yang berasal dari sungai yang sudah tercemar. Belum lagi ditambah pencemaran udara yang terjadi karena asap yang keluar dari cerobong asap pabrik gula yang banyak mengandung unsur karbondioksia yang dapat menyebabkan pemanasan global.
2.      Dampak pencemaran
Pencemaran air oleh pabrik gula pagotan berdampak pada perekonomian dan kesehatan. Para petani mendapatkan air untuk mengairi sawahnya itu berasal dari sungai. Ketika sungai tercemar terpaksa petani harus memakai air yang tercemar juga. Jika air yang digunakan tercemar , mengandung zat kimia maka akan berdampak pula bagi tanaman yang terkena zat kimia tersebut. Akibat zat tersebut bisa mempengaruhi kulitas produksi petani dan juga kuantitas produksi hasil tani. Selain itu masalah kesehatan, banyak terdapat warga yang tinggal di sekitar sungai yang tercemar. Jika warga tidak memakai air PDAM maka air sumur yang mereka gunakan. Jika limbah tersebut sampai ke sumur-sumur warga maka kegiatan warga seperti masak , mencuci, mandi tidak bisa dilakukan karena pertimbangan kesehatan mereka. Terakhir masalah kenyamanan hidup, air limbah gula ini menyebabkan bau yang tidak enak setiap harinya.
3.      Penyebab Pencemaran
Penyebab dari pencemaran limbah pabrik gula ini bermacam-macam. Mulai dari pihak pabrik yang kurang serius dalam menangani pengelolaan limbah pabrik. Pengolahan limbah sudah disediakan tempat sendiri, tetapi limbah tetap saja mencemari sungai di sekitar pabrik. Mungkin ada kesalahan dalam pengolahan limbah atau sistem pengolahannya belum memenuhi standar dari Badan Lingkungan Hidup (BLH).
4.      Cara Penanggulangan Pencemaran
Cara menanggulangi pencemaran limbah pabrik gula adalah dengan peran pemerintah yang  mampu bertindak tegas kepada pihak pabrik gula dalam hal pengolahan limbah agar tidak merugikan terhadap lingkungan. Seperti pemberian ijin pendirian pabrik dengan mempertimbangkan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) daerah Pagotan. Selain itu, pihak pabrik gula harus memiliki sumber daya manusia yang dapat merancang dan mengolah limbah pabrik menjadi sesuatu yang bermanfaat seperti pembuatan pupuk kompos dari limbah padat atau pupuk cair. Di sisi lain, adanya keterbukaan dengan masyarakat sekitar juga perlu dilakukan oleh pihak pabrik gula agar tidak terjadi kesalahpahaman. Mungkin dengan memberikan penyuluhan atau pelatihan pemanfaat limbah hasil pengolahan gula kepada masyarakat sekitar.

             

Minggu, 23 Maret 2014

Problematika Pembelajaran Sains di Sekolah




MAKALAH PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN SAINS
PEMBELAJARAN SAINS DI SEKOLAH







Disusun Oleh:
Erny Rohmatus Sa’adah                (S831402029)


PRODI PENDIDIKAN SAINS/KIMIA
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Era globalisasi yang terjadi sekarang ini telah mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan. Kehidupan masyarakat saat ini sangat bergantung dan dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi. Akibat perkembangan itu, manusia dituntut untuk selalu mengikuti semua perkembangan tersebut dengan berbagai macam perubahannya. Seiring perkembangan jaman, persaingan antar individu juga semakin berkembang. Persaingan dalam hal pendidikan, kerja, dan berkarya menjadi hal yang sangat penting dan harus dipersiapkan dengan maksimal bagi masing-masing individu. Mempersiapkan individu yang siap berkompetisi di dunia global dengan segala tantangan yang ada dapat dibentuk dan dipersiapkan oleh dunia pendidikan.
Untuk mempersiapkan hal tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan selalu berupaya untuk menjawab tantangan dari era globalisasi yang sedang berkembang pesat dari waktu ke waktu. Pemerintah beberapa kali telah melakukan perubahan kurikulum pendidikan demi menjawab tuntutan tersebut. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, lalu diganti dan diperbaharui dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, dan yang masih hangat dan menjadi pro kontra di kalangan akademisi pendidikan adalah Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 pemerintah memberikan perhatian yang khusus pada pembelajaran sains di seluruh tingkat satuan pendidikan mulai SD, SMP, dan SMA. Menurut dokumen kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan, hasil studi PISA (Program for International Student Assessment) menyebutkan bahwa negara Indonesia menduduki peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara dalam melek sains (Science literacy). Bukan hanya itu, hasil studi dari TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menempatkan Indonesia pada rangking yang amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang kompleks, (2) teori, analisis, dan pemecahan masalah, (3) penggunaan alat, prosedur dan pemecahan masalah, (4) melakukan investigasi.
Pembelajaran sains yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah hanya menekankan pada pemberian konten materi (produk) dari sains itu sendiri, sehingga kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik hanya sebatas pada aspek kogitifnya saja. Secara hakikat, sains itu meliputi produk (kognitif), proses (psikomotor), dan pembentukan sikap ilmiah (afektif). Dalam pembelajaran sains, ketiga aspek tersebut harus terpenuhi agar peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan melek sains.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa itu pembelajaran sains?
2.      Apa tujuan dari pembelajaran sains?
3.      Apa konten/materi ajar dalam pembelajaran sains?
4.      Bagaimana model pembelajaran dalam pembelajaran sains?
5.      Bagaimana instrumen evaluasi dalam pembelajaran sains?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tujuan Pembelajaran Sains
Sains merupakan salah satu bagian dari kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu bagian dari pembelajaran sains. Sains dan kehidupan manusia sangat berkaitan erat dan hampir tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Sains dikembangkan untuk memahami gejala alam, baik berupa fakta-fakta atau kejadian-kejadian dan hubungan sebab-akibatnya secara sistematis sehingga dalam proses menemukan jawaban atas keingintahuan tersebut perlu dilakukan suatu proses ilmiah.
Menurut Piaget dalam buku Teori-teori Belajar & Pembelajaran (Dahar, 2011) belajar sains merupakan suatu proses membangun pengetahuan dengan partisipasi aktif dari siswa. Piaget juga berpendapat dalam teori belajar konstruktivis bahwa individu dapat membangun sendiri pengetahuannya sejak kecil dari hasil pengalamannya sendiri dengan lingkungan (Suyanti, 2010). Konstruktivisme didasari oleh teori belajar kognitif (Sanjaya, 2010) yang beranggapan bahwa pengetahuan dikonstruksi melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema (struktur kognitif yang terbentuk dari proses pengalaman) yang sudah ada. Sedangkan asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang sudah  terbentuk, akomodasi adalah proses perubahan skema tersebut.
Selama ini di beberapa sekolah masih banyak yang menerapkan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered), sehingga partisipasi aktif dari siswa untuk dapat membangun pengetahuannya sendiri masih kurang terlebih untuk pengetahuan sains. Dalam buku karangan Retno Dwi Suyanti (2010) Edgar Dale menggambarkan dalam kerucut pengalaman (cone of experience) bahwa semakin konkret siswa mempelajari konten materi ajar, maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh siswa dan akan semakin kuat ingatan tentang materi yang dipelajari. Hakikat sains meliputi produk, proses, dan sikap ilmiah, maka dalam proses pembelajaran sains di sekolah siswa harus dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator, mediator, pengelola, demonstrator, pembimbing, evaluator, dan sumber belajar (Sanjaya, 2010). Untuk mendukung keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan melakukan perubahan kurikulum dari KTSP menjadi Kurikulum 2013 yang memberikan perhatian khusus pada ilmu sains. Pemerintah berharap dengan perubahan kurikulum 2013 ini, siswa dapat lebih melek sains bukan hanya terbatas pada konten atau produk hasil sains sehingga hanya pengetahuan yang bersifat kognitif yang dikuasai dan dipahami, tetapi lebih pada proses sains atau keterampilan proses untuk mendapatkan dan mengembangkan sains lebih lanjut (psikomotor) serta sikap ilmiah atau mental ilmiah ketika terjun dan berkecimpung dalam dunia sains (afektif). Menurut Rustaman (2005) tujuan jangka panjang dari pendidikan sains adalah siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, kreatif, tekun, disiplin, mengikuti aturan, dapat bekerja sama, bersikap terbuka, percaya diri, memiliki keterampilan kerja, keterampilan komunikasi dan keterampilan sosial lainnya untuk membekali siswa dalam menghadapi tantangan dalam masyarakat yang semakin kompetitif antara satu dengan yang lain di segala bidang.
Menurut UNESCO ada empat pilar pendidikan dalam pembelajaran sains di sekolah yaitu learning how to know, learning how to do, learning to be, dan learning to live together. Dalam kurikulum 2013 ini, konsep empat pilar dari UNESCO diaplikasikan oleh pemerintah dengan memberikan beberapa model pembelajarn yang dapat diterapkan pada proses pembelajaran sains seperti PBL (Project Based Learning), Inquiry, Discovery dan SETS (Science, Environment, Technology dan Society). Tujuannya agar siswa tidak hanya mengerti dan paham tentang konten materi dari sains tetapi lebih pada keterampilan proses sains menggunakan metode ilmiah (scientific methode), kemampuan berpikir, dan keterampilan memecahkan masalah secara efektif serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan selanjutnya di masyarakat.
B.     Konten/ Materi Ajar
Sains atau IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) mempelajari segala sesuatu yang ada di alam sekitar kita (lingkungan) berupa fakta-fakta atau kejadian-kejadian dan hubungan sebab-akibatnya secara sistematis serta proses penemuan. Anggota rumpun sains atau IPA di antaranya adalah fisika, kimia, biologi, dan astronomi/astrofisika. Konten materi ajar sains meliputi produk-produk sains berupa fakta-fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum yang sudah diterima keberadaannya (Diknas, 2008). Pada ilmu kimia mempelajari gejala khusus yang terjadi pada suatu zat dan segala yang berhubungan dengan zat seperti komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika, dan energetika zat.


C.    Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran mencangkup pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sains di sekolah, pemilihan pendekatan, strategi, metode, teknik, serta model pembelajaran sangat penting. Hal ini dikarenakan tidak semua jenis komponen tersebut sesuai jika diterapkan pada pembelajaran sains. Dengan pemilihan pendekatan, strategi, metode, teknik, serta model pembelajaran yang tepat, diharapkan tujuan dari pembelajaran sains dapat tercapainya.
Pada pembelajaran sains yang memiliki konten materi ajar berupa fakta-fakta, konsep, prinsip, teori, dan hukum sehingga siswa diharapkan tidak hanya memiliki kemampuan secara kognitif dengan menghafal dan memahami semua konten materi dengan baik tetapi juga pada ranah afektif dan psikomotor. Pendekatan yang dapat diterapkan pada pembelajaran sains di antaranya adalah student centered, keterampilan proses, induktif, kontekstual, SETS (Science, Environment, Technology, and Society), dan konstruktivisme. Metode yang digunakan di antaranya ceramah, demonstrasi, eksperimen, diskusi, proyek, discovery, dan inquiry. Sedangkan model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran sains adalah CTL (Contextual Teaching and Learning), SETS (Science, Environment, Technology, and Society), GI (Group Investigation), PBL (Project Based Learning), dan Quantum Learning. Semua pendekatan, metode, dan model di atas memberikan kesempatan pada siswa agar dapat  berperan aktif selama proses pembelajaran. Berikut dijelaskan beberapa model pembelajaran:
1.      PBL (Project Based Learning)
PBL merupakan salah satu model pembelajaran inovatif. Dalam e-Journal PPs Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA volume 4 tahun 2014, Amanda dkk. mengutip tulisan The George Lucas Educational Foundation tentang enam tahapan dalam pembelajaran berbasis proyek : (1) start with the essential question, (2) design a plan for the project, (3) create a schedule, (4) monitor the students and the progress of the project, (5) asses the outcome, (6) evaluate the experiences. Menurut Thomas dkk. yang dikutip oleh Amanda dkk. (2014) pada model pembelajaran ini, siswa dituntut untuk marancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan kegiatan investigasi, dan bekerja secara mandiri bersama kelompok.
2.      Inquiry dan Discovery
Model inquiry merupakan model pembelajaran kognitif yang sering diunggulkan dalam pembelajaran sains di sekolah. Menurut Rostiyah (2008) inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya seperti merumuskan masalah, merencanakan percobaan, melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan.
Sedangkan discovery dari segi etimologinya berarti penemuan. Menurut Sund dalam buku karya Rosetiyah (2008) discovery berarti proses mental di mana siswa dapat mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud proses mental adalah mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Dalam discovery guru hanya sebagai pembimbing dan pemberi instruksi, sementara siswa diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri.
Menurut Trowbridge & Byee yang dikutip oleh Rustaman (2005) tingkat kompleksitas pembelajaran inquiry dibedakan menjadi tiga. Pertama adalah pembelajaran penemuan (discovery) yaitu melakukan pencarian konsep melalui kegiatan yang melibatkan pertanyaan, inferensi, prediksi, berkomunikasi, interpretasi, dan menyimpulkan, kedua pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) yaitu permasalahan dimunculkan oleh pembimbing, dan ketiga tingkatan paling kompleks adalah inkuiri terbuka atau bebas (open inquiry) yaitu masalah berasal dari siswa sendiri dengan bantuan arahan dari guru. Ketiga pembelajaran tersebut melibatkan keterampilan proses sains atau kemampuan bekerja ilmiah. Sehingga dapat dikatan pula bahwa inquiry merupakan perluasan dari discovery.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut (Sanjaya, 2010):
a.       Orientasi
b.      Merumuskan masalah
c.       Mengajukan hipotesis
d.      Mengumpulkan data
e.       Menguji hipotesis
f.       Merumuskan kesimpulan
3.      CTL (Contextual Teaching and Learning)
CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh sehingga dapat menemukan materi sendiri melalui pengalaman secara langsung, menghubungkan materi yang didapat di sekolah dengan kehidupan nyata sehingga dapat mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2010).
Lebih lanjut Sanjaya (2010) menyebutkan ada 7 asas atau komponen yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran menggunakan CTL yaitu:
a.       Konstruktivisme
b.      Inkuiri
c.       Bertanya (questioning)
d.      Masyarakat belajar (learning community)
e.       Pemodelan (modeling)
f.       Refleksi (reflection)
g.      Penilaian nyata (authentic assessment)
D.    Instrumen Evaluasi
Menurut Kemendiknas (2012) instrumen penilaian hasil belajar adalah alat yang digunakan untuk mengetahui kekurangan setiap peserta didik atau sekelompok peserta didik dalam hasil belajar. Instrumen evaluasi/penilaian hasil belajar dapat berbentuk soal, non-soal, dan tugas. Pada proses pembelajaran sains penilaian terhadap hasil belajar terdiri dari tiga aspek yaitu kognitif (proses kognitif: remember, understand, apply, analize, evaluate, create; pengetahuan: factual knowledge, conceptual knowledge, procedural knowledge, metacognitive knowledge), afektif (minat, sikap, nilai, penghargaan, penyesuaian diri), dan psikomotor (gerak otot, keterampilan motorik, gerak yang membutuhkan koordinasi otot). Menurut Sukardjo dan Lis Permana Sari (2008) instrumen penilaian hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor dapat berbentuk soal, sedangkan pada aspek afektif menggunakan instrumen non-soal. Pada umumnya, aspek psikomotor juga menggunakan instrumen non-soal. Instrumen soal selalu memiliki jawaban yang benar dan salah. Pada instrumen non-soal jawaban merupakan suatu skala. Baik soal maupun non-soal terdiri dari beberapa butir soal bisa berupa pertanyaan atau pernyataan.
Lebih lanjut Sukardjo dan Lis Permana Sari (2008) menjelaskan bahwa instrumen penilaian soal dapat berbentuk uraian atau objektif. Instrumen penilaian non-soal berbentuk pedoman observasi, daftar cek, skala lajuan, pedoman wawancara, lembar angket, dan skala sikap. Instrumen soal uraian memiliki dua tipe yaitu uraian terbatas (jawaban singkat, melengkapi, uraian terbatas sederhana) dan uraian bebas (uraian bebas sederhana, uraian ekspresif). Instrumen soal objektif memiliki tiga tipe yaitu objektif benar-salah (benar-salah sederhana, benar-salah dengan koreksi), objektif menjodohkan (menjodohkan sederhana, menjodohkan hubungan sebab-akibat), dan objektif pilihan ganda (pilihan ganda biasa, hubungan antar hal, analisis kasus, pilihan ganda kompleks, membaca diagram).





BAB III
PENUTUP
1.      Pembelajaran Sains atau IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) adalah proses mempelajari segala sesuatu yang ada di alam sekitar kita (lingkungan) berupa fakta-fakta atau kejadian-kejadian dan hubungan sebab-akibatnya secara sistematis.
2.      Tujuan pembelajaran sains di sekolah adalah agar siswa mengerti dan paham tentang konten materi dari sains berupa fakta, konsep, prinsip, teori, dan hukum. Serta memiliki keterampilan proses sains menggunakan metode ilmiah (scientific methode), kemampuan berpikir, dan keterampilan memecahkan masalah secara efektif serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan selanjutnya di masyarakat.
3.      Konten materi ajar sains meliputi produk-produk sains berupa fakta-fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum yang sudah diterima keberadaannya.
4.      Model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran sains menitik beratkan pada partisipasi aktif siswa agar siswa dapat memeroleh pengetahuan berdasarkan pengalamannya sendiri. Di antaranya adalah model PBL (Project Based Learning), Inquiry dan Discovery, CTL (Contextual Teaching and Learning), SETS (Science, Environment, Technology, and Society) dan lain-lain.
5.      Instrumen evaluasi/penilaian hasil belajar pada pembelajaran sains  dapat berbentuk soal, non-soal, dan tugas. Instrumen penilaian hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor dapat berbentuk soal, sedangkan pada aspek afektif menggunakan instrumen non-soal. Pada umumnya, aspek psikomotor juga menggunakan instrumen non-soal.





DAFTAR PUSTAKA
Amanda, dkk. 2014). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap Hasil           Belajar IPA Ditinjau dari Self Efficacy Siswa. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA volume 4 tahun 2014.

Dahar, Ratna Wilis. (2011). Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Strategi Pembelajaran MIPA.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012). Dokumen Kurikulum 2013.

Roestiyah. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Rustaman, Nuryani Y. (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidikan Sains. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional II Himpunan Ikatan sarjana dan Pemerhati Pendidikan IPA Indonesia Bekerjasama dengan FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 22-23 Juli 2005.

Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Sukardjo & Lis Permana Sari. (2008). Penilaian Hasil Balajar Kimia. Yogyakarta: UNY press.

Suyanti, Retno Dwi. (2010). Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.