A. Pendahuluan
Manusia selalu berusaha untuk menemukan kebenaran.
Beberapa cara yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh kebenaran diantara
adalah dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman
atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan
prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku
di alam itu dapat dimengerti.
Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam.
Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang
menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil
aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran.
Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut
menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan
struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah
menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya
kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia
melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas. Plato pernah
berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh
belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah
kenyataan (dos sollen) itu tidak
selalu yang seharusnya (dos sein)
terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan).
Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata
terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan
(ketidakbenaran) . Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada
kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak
sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara
(tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239).
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Kebenaran
Telah dijelaskan bahwa manusia tidak hanya sekedar
ingin tahu, tetapi ingin tahu suatu kebenaran. Ia ingin memiliki pengetahuan
yang benar. Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya.
Kalau saya mengatakan bahwa di luar sedang hujan,
proposisi itu benar jika apa yang saya katakan memang sesuai dengan fakta.
Jadi, ketika saya mengucapkan kalimat itu, hujan sedang turun. Kalau hujan
tidak turun, apalagi sedang panas terik, maka proposisi itu tidak benar.
Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada
kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak
sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara
(tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada
ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan.
Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka
pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian
kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang
masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya
kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa
persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran.
Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi
pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang
sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari
suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak
bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain,
keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari
sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti
dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna:
kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral
menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan
apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika,
dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas
objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan
dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada
merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
2.
Macam-macam
Kebenaran
Ada tiga jenis kebenaran yaitu kebenaran
epistimologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantik. Kebenaran
epistimologis berkaitan dengan pengetahuan, kebenaran ontologis berkaitan
dengan hakikat sesuatu, dan kebenaran semantik berkaitan dengan tutur kata atau
bahasa. Di bawah ini diuraikan secara singkat setiap jenis kebenaran.
a. Kebenaran Epistimologis
Yang menjadi persoalan di sini
adalah apa artinya pengetahuan yang benar? Atau, kapan sebuah pengetahuan
disebut pengetahuan yang benar? Jawabannya adalah bila apa yang terdapat dalam
pikiran subyek sesuai dengan apa yang ada dalam obyek.
Kebenaran epistimologis disebut
juga dengan kebenaran logis.
b.
Kebenaran
Ontologis
Kebenaran ontologis berkaitan
dengan sifat dasar atau kodrat dari obyek. Misalnya, kita mengatakan batu
adalah benda padat yang keras. Ini adalah sebuah kebenaran ontologis, sebab
batu pada hakikatnya merupakan benda padat yang sangat keras. Manusia yang
benar adalah manusia yang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Kebenaran
ontologis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
·
Kebenaran ontologis esensial :
menyangkut sifat dasar atau kodrat sesuatu
·
Kebenaran ontologis naturalis :
menyangkut kodrat seperti yang diciptakan Tuhan
·
Kebenaran ontologis artifisial :
menyangkut kodrat yang diciptakan oleh manusia
c.
Kebenaran
Semantik
Kebenaran semantik berhubungan
dengan pemakaian bahasa. Hal ini tergantung pada kebebasan manusia sebagai
makhluk yang bebas melakukan sesuatu. Bahasa merupakan ungkapan dari kebenaran.
3.
Teori-teori
Kebenaran
Ada tiga teori utama tentang kebenaran, yaitu teori
korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Berikut ini akan diuraikan ketiga
teori tersebut. Teori Korespondensi (The
Correspondence Theory of Thruth) memandang bahwa kebenaran adalah
kesesuaian antara pernya-taan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu
sendiri. Contoh: “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta”. Teori
Koherensi/Konsistensi (The
Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah
kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang
sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
Teori Pragmatis (The
Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Kata kunci
teori ini adalah: kegunaan (utility),
dapat dikerjakan (workability),
akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory
consequencies).
Ketiga macam teori kebenaran yang akan dibahas
berikut ini adalah berbagai cara manusia memperoleh kebenaran yang sifatnya
relatif atau nisbi. Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal dari Tuhan
yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan merupakan
sumber kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna
kebaikan umat manusia.
a.
Teori
Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang
berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi
terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju
pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu
proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan
apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris
pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling
awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena
Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan
harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.
Dua kesukaran utama yang didapatkan dari teori
korespondensi adalah: Pertama, teori korespondensi memberikan gambaran yang
menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu
kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak
pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang
kepercayaannya masing-masing. Kedua, teori korespondensi bekerja dengan idea,
“bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu,
apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu
bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit
untuk dilakukan. Ketiga, Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah
munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak
normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada
objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam
ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh
fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran
yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
b.
Teori
Koherensi
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran
yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan
disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari
pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini
mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan
terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan
kecepatan dalam fisika. Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa
kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan
proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila
mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu
yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori
ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan
ukuran bagi derajat kebenaran. Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Fulan
adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.” “Sukarno adalah ayahanda
Megawati. Sukarno mempunyai puteri. Megawati adalah puteri Sukarno”.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis
tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan
suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat
dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan
dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga
tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi
dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka
tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi
tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima
secara luas dibandingkan teori korespondensi. Teori ini punya banyak kelemahan
dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat
koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya
terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan
antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan
adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih
dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang
penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika
disusun diatas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma). Dengan
mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas
teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan
merupakan suatu sistem yang konsisten.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah: (1) Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya. (2) sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah: (1) Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya. (2) sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
c.
Teori
Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang
berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi
ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung
kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The
Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme,
intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus,
1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar
dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan
pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi
hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya
yang memuaskan (satisfactory
consequencies). Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi
benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung
pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang
proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu
atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan
manusia” . Dalam pendidikan, misalnya di UIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah
mahasiswa pada masing-masing Fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar
kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang
“Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does
God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah
Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah
makna praktis atau dalam ungkapan William James “ ….they have a definite
meaning for our ptactice. We can act as if there were a God”. Dalam hal ini,
menurut penganut pragmatis, kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil
yang terbaik; yang menjadi justifikasi dari segala tindakan kita; dan yang
meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran.
Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas
maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi
kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu
itu bermanfaat atau memuaskan.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
C. Penutup
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan
manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di
dalam kehidupan manusia Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di
atas telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai teori kebenaran.
Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta
dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik
Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran
mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak
kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan
masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
Berdasarkan teori korespondensi, kebenaran/keadaan
benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau
kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya
terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan
memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan
dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan
putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya.
Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas,
tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan
dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv,
dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka
sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan
benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas
maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi
kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu
itu bermanfaat atau memuaskan.
D. Daftar Pustaka
Munir, Misnal, M.Hum&Mustansyir,
Rizal, M.Hum. 2001. Filsafat Ilmu 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muslih, Mohammad. 2004. Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Belukan
http://prof-d-l-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-64129-Filsafat%20Ilmu-Teori%20kebenaran.html.
Diakses pada tanggal 29 Juni 2014